JOMBANG – Achmad Sholikhin Ruslie salah satu praktisi hukum tata negara di Jombang mendapat undangan Badan Pengkajian MPR RI di Surabaya, Kamis (17/11) lalu. Acara dihelat untuk mengkaji pelantikan presiden dan wakil presiden dan sidang tahunan MPR RI.
”Jadi pertemuan itu dimaksudkan meminta pandangan dan pendapat pada para pakar dari universitas di Jawa Timur, agar proses pelantikan presiden dan wakil presiden serta sidang tahunan MPR yang dinilai sudah keluar dan ketentuan Konstitusi UUD NRI 1945,” kata Sholikhin.
Dikatakan, dalam agenda itu dia mewakili pakar hukum tata negara dari Untag Surabaya. Pertemuan itu dilaksanakan untuk mencari format pelantikan presiden dan wapres. ”Karena menurut para ahli ini dianggap kurang tepat seiring berubahnya status MPR pascarefomrasi yang turun status menjadi lembaga tinggi negara,” imbuh dia.
Sebab, lanjut dia, presiden dilantik dan mengucapkan sumpah janji di depan Sidang MPR. Namun dasar pelantikan tersebut hanya keputusan KPU tentang hasil pemilihan umum (Pemilu). ”Dikarenakan MPR sudah tidak diperbolehkan mengeluarkan Ketetapan MPR,” tandasnya.
Hal itu berdasarkan Pasal 3 Ayat 2 UUD NRI 1945 berbunyi majelis permusyawaratan rakyat melantik presiden dan/atau wakil presiden. Sedangkan Pasal 9 Ayat 1 disebutkan, sebelum memangku jabatan, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan perwakilan Rakyat. ”Ketentuan itu dimaknai pelantikan presiden dan atau wapres tidak perlu dibuatkan surat keputusan (Ketetapan MPR, Red). Namun cukup dengan surat keputusan KPU,” tutur dia.
Dalam sistem administrasi hukum, lanjut Solikhin, itu menjadi aneh. Sebab pada saat pelantikan, MPR tidak membuat Tap MPR, akan tetapi ketika presiden dan wapres diberhentikan, sesuai Pasal 7B ayat 7, MPR harus membuat keputusan. ”Lalu keputusan pemberhentian akan mencabut pengangkatan yang mana, wong tidak ada keputusan pengangkatan. Maka sesuai dengan asas a cotrario actus, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan,” lanjut Sholikhin.
Sementara, terkait persidangan tahunan MPR, menurut Sholikhin, juga terdapat kesalahan. Alasannya, karena sidang dipimpin secara bersama-sama oleh pimpinan MPR, DPR dan DPD. ”Seharusnya hanya dipimpin oleh pimpinan MPR toh MPR adalah gabungan antara DPR dan DPD,” tutur dia.
Menurut dia, kesalahan berikutnya pada tradisi sidang tahunan MPR itu adalah penyampaian laporan tahunan lembaga-lembaga negara dirapel oleh presiden. ”Padahal lambaga-lembaga negara tersebut, sumber kewenangannya adalah atribusi yang diberikan oleh konstitusi dan atau UU. Hal-hal seperti inilah yang harus segera dibenahi,” kata Sholikhin.
Kajian itu dipimpin langsung Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Saiful Hidayat serta diikuti sembilan anggota yang membidangi pengkajian. Sedangkan para pakar hukum tata negara yang diundang dari Universitas Airlangga, Universitas 17 Agustus 1945, dan Universitas Negeri Surabaya. (fid/naz/riz)