JOMBANG – Dusun Kebondalem, Desa Kademangan Kecamatan Mojoagung terkenal sejak dulu menjadi sentra produksi cobek dan layah dengan kualitas unggul. Meski menggunakan cara tradisional, hingga kini tetap eksis dan diminati para pelanggan.
Salah satunya ditekuni keluarga Kismoro, 53. Dia meneruskan usaha pembuatan cobek dan layah dari kakeknya. ’’Saya mulai pembuatan cobek ini 1995-an. Turun temurun dari kakek dan bapak,’’ katanya sembari meneruskan aktivitasnya, kemarin.
Kismoro memulai proses pembuatan cobek dengan mengaduk adonan tanah liat diatas perbot. Semacam piringan yang dibuat untuk mengaduk tanah. Tanah itu diputar berkali-kali searah jarum jam sampai menjadi cobek dengan bentuk bulat simetris. ’’Sejak dulu ya begini caranya,’’ ujarnya.
Di tengah kencaggihan zaman sekarang, banyak perajin yang mulai putar haluan ke cara modern dengan mesin cetak. Namun ia tetap bertahan dengan tradisional karena ingin mempertahankan kualitas. ’’Kalau pakai cetakan lebih efisien waktu dan tenaga. Tapi dengan cara ini lebih awet, karena kita tempa satu persatu dari awal dengan hati-hati,’’ tambahnya.
Dalam sehari, ia mampu menyelesaikan belasan hingga puluhan layah. Jumlahnya sangat tergantung cuaca. Sebab, sebelum digunakan, layah harus dijemur dibawah terik matahari yang cukup. ’’Awalnya kita angin-anginkan, baru setelah itu dijemur,’’ tandasnya.
Terkait harga, Kismoro tetap menjual dengan harga terjangkau. Layah kecil dijual mulai Rp 3 ribu dan ukuran besar Rp 15 ribu. ’’Pemasarannya ke Mojokerto dan Sidoarjo. Yang jual bukan saya sendiri, melainkan saya jual ke pengepul yang mengambil disini,’’ ucapnya.
Reporter: Anggi Fridianto
JOMBANG – Dusun Kebondalem, Desa Kademangan Kecamatan Mojoagung terkenal sejak dulu menjadi sentra produksi cobek dan layah dengan kualitas unggul. Meski menggunakan cara tradisional, hingga kini tetap eksis dan diminati para pelanggan.
Salah satunya ditekuni keluarga Kismoro, 53. Dia meneruskan usaha pembuatan cobek dan layah dari kakeknya. ’’Saya mulai pembuatan cobek ini 1995-an. Turun temurun dari kakek dan bapak,’’ katanya sembari meneruskan aktivitasnya, kemarin.
Kismoro memulai proses pembuatan cobek dengan mengaduk adonan tanah liat diatas perbot. Semacam piringan yang dibuat untuk mengaduk tanah. Tanah itu diputar berkali-kali searah jarum jam sampai menjadi cobek dengan bentuk bulat simetris. ’’Sejak dulu ya begini caranya,’’ ujarnya.
Di tengah kencaggihan zaman sekarang, banyak perajin yang mulai putar haluan ke cara modern dengan mesin cetak. Namun ia tetap bertahan dengan tradisional karena ingin mempertahankan kualitas. ’’Kalau pakai cetakan lebih efisien waktu dan tenaga. Tapi dengan cara ini lebih awet, karena kita tempa satu persatu dari awal dengan hati-hati,’’ tambahnya.
Dalam sehari, ia mampu menyelesaikan belasan hingga puluhan layah. Jumlahnya sangat tergantung cuaca. Sebab, sebelum digunakan, layah harus dijemur dibawah terik matahari yang cukup. ’’Awalnya kita angin-anginkan, baru setelah itu dijemur,’’ tandasnya.
Terkait harga, Kismoro tetap menjual dengan harga terjangkau. Layah kecil dijual mulai Rp 3 ribu dan ukuran besar Rp 15 ribu. ’’Pemasarannya ke Mojokerto dan Sidoarjo. Yang jual bukan saya sendiri, melainkan saya jual ke pengepul yang mengambil disini,’’ ucapnya.
Reporter: Anggi Fridianto